Terdapat seorang ilmuwan besar yang sangat terkenal. Sayangnya, ilmuwan berbangsa Rom ini adalah seorang atheis dan menolak mentah-mentah kewujudan Tuhan. Ketika itu,para ulama hanya berdiam diri dan tidak berusaha untuk menyedarkan si ilmuwan tersebut. Tentu sahaja tidak semua ulama yang berdiam diri, masih ada yang peduli dengan keadaan itu. Hal ini boleh mendatangkan bahaya jika membiarkan ilmuwan mempengaruhi akidah umat. Ulama yang dimaksudkan adalah guru Abu Hanifah yang bernama Hammad.
Pada suatu hari, orang ramai sudah berkumpul di sebuah masjid. Si ilmuwan naik ke mimbar dan menentang sesiapa sahaja yang mahu berdebat dengannya. Ada maksud tersembunyi di sebalik tentangan itu. Sesungguhnya,dia bermaksud menjatuhkan para ulama dengan perdebatan-perdebatan yang rasional.
Si ilmuwan semakin bongkak, apalagi setelah tentangannya tidak bersambut. Dia menyangka semua ulama itu pengecut sehingga tidak ada seorang pun yang berani menyambut tentangannya. Hal ini semakin diperkuat dengan suasana di dalam masjid yang tiba-tiba menjadi hening. Beberapa orang saling berpandangan, ada pula yang mengarahkan pandangan ke deretan paling hadapan di tempat duduk beberapa ulama.
Dari kebanyakan hadirin, ada seorang pemuda yang merasa meluat melihat kesombongan si ilmuwan. Namun, dia berusaha menahan diri, barangkali ada ulama senior yang berani tampil menghadapi tentangan itu.
Sang pemuda menunggu lama. Setelah yakin tidak ada yang mahu tampil ke hadapan, barulah dia berdiri dan melangkah menuju ke mimbar.
"Saya Abu Hanifah, bersedia untuk berdebat denganmu, "kata sang pemuda sambil memperkenalkan diri.
Semua mata hadirin tertuju ke arah Abu Hanifah. Mereka merasa hairan melihat keberanian sang pemuda. Beberapa orang memberikan tabik kagum kepada Abu Hanifah, manakala si ilmuwan sendiri merasa hairan melihat keberanian Abu Hanifah. Akan tetapi, kebanyakan hadirin bersikap sinis terhadap Abu Hanifah dan merendah-rendahkan kemampuannya. Ada pula yang mempersoalkan motif Abu Hanifah tampil ke depan. Apakah sekadar hanya menonjolkan diri atau mencari populariti?
Wajah Abu Hanifah tetap tenang. Beliau tidak terpengaruh oleh pelbagai bisikan yang ada, termasuk bernada sinis sekalipun. Sikap Abu Hanifah sangat rendah hati.Tanpa membuang masa,Abu Hanifah memulakan bicara.
"Silakan Tuan yang memulakan persoalan,"ujar Abu Hanifah memprsilakan ilmuwan itu dengan sopan.
"Baiklah, soalan pertama. Pada tahun berapakah Tuhan kamu dilahirkan?"tanya ilmuwan kafir.
"Allah tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, "jawab Abu Hanifah.
"Hmm, masuk akal jika dikatakan Tuhan mu tidak melahirkan dan tidak pula di lahirkan.Lalu, pada tahun berapa Dia ada?"
"Dia ada sebelum segala sesuatu ada,"tegas Abu Hanifah.
"Boleh berikan contoh yang konkrit mengenai hal ini?"
"Tuan tahu tentang perhitungan?"Abu Hanifah kembali bertanya.
"Ya, saya tahu."
"Apakah angka sebelum angka satu?"
"Tidak ada,"jawab ilmuwan kafir.
"Tidak ada angka lain yang mendahului angka satu. Lalu mengapakah tuan hairan bahawa sebelum Allah itu tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Nya?"
"Baiklah. Sekarang, di manakah Tuhan mu berada? Sesuatu yang wujud pasti memerlukan tempat, bukan?" lanjut si ilmuwan.
"Tuan tahu bentuk susu?"tanya Abu Hanifah.
"ya,saya tahu,"jawab si ilmuwan.
"Apakah di dalam susu terdapat keju?"
"Ya, sudah tentu."
"Kalau begitu, cuba tunjukkan di mana tempat keju itu sekarang?"
"Jelas tidak ada tempat yang khusus. Keju itu bercampur dengan susu di seluruh bahagiannya."jawab si ilmuwan dengan bersemangat.
"Sekarang, keju sahaja tidak mempunyai tempat yang khusus di dalam susu. Tuan tidak sepatutnya meminta saya untuk menunjukkan tempat di mana Allah berada."
"Tolong jelaskan zat Tuhan mu. Apakah wujud-Nya itu benda seperti batu, benda cair seperti susu ataukah seperti gas?"
"Tuan pernah mendampingi orang sakit yang akan meninggal dunia?"
"Pernah."
"Awalnya, bukankah orang sakit itu dapat berkata-kata dan dapat menggerakkan anggota badannya?"
"Ya, memang begitulah keadaannya."
"Tetapi, kenapa tiba-tiba orang sakit itu diam tidak bergerak? Apa yang menyebabkan hal itu?"
"Itu kerana roh orang tersebut telah terpisah dari tubuhnya."
"Sewaktu roh itu keluar, apakah tuan masih berada di sana?"
"Saya masih berada di sana."
"Cuba jelaskan, apakah roh orang tersebut adalah sesuatu benda yang padat, cair atau gas?"
"Wah,kalau soalan itu saya tidak tahu jawapannya."
"Tuan sendiri tidak dapat menerangkan bentuk roh, apalagi saya harus menerangkan Zat Allah yang menciptakan roh."
"Lazimnya, sesuatu itu mempunyai arah. Ke manakah Tuhan mu menghadapkan wajah-Nya sekarang?"tanya si ilmuwan lagi.
"Apabila tuan menyalakan lampu, ke arah manakah cahaya lampu itu menghadap?"
"Cahanya menghadap kesemua arah."
"Lampu yang buatan manusia sahaja seperti itu. Apalagi dengan Allah Sang Pencipta alam semesta. Allah adalah cahaya langit dan bumi."
"Ada awal dan ada akhir. Seseorang masuk syurga itu ada awalnya, tetapi kenapa tidak ada akhirnya? Mengapa syurga dan para penghuninya kekal abadi?"kata si ilmuwa melanjutkan pertanyaannya.
"Untuk hal itu, Tuan boleh membandingkannya dengan perhitungan angka. Angka itu ada awalnya tidak ada akhirnya."
"Jadi,bagaimana pula para penghuni syurga itu makan dan minum tanpa buang hajat?"
"Ini pernah tuan alami sewaktu di dalam rahim ibu. Selama sembilan bulan tuan makan dan minum tanpa pernah buang hajat. Tuan membuang air besar dan air kecil beberapa saat setelah di lahirkan di dunia."
"Tolong jelaskan, bagaimana kenikmatan syurga itu boleh terus bertambah tanpa ada habisnya!"
"Ada banyak hal yang seperti itu di dunia. Misalnya,ilmu. Ilmu tidak akan habis atau berkurang ketika dimanfaatkan, malah semakin bertambah."
"Jika segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, lalu apakah pekerjaan Tuhan mu sekarang?"
"Sejak tadi tuan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dari atas mimbar, sedangkan saya hanya menjawab dari atas lantai masjid ini. Kali ini untuk menjawab pertanyaan Tuan, saya mohon tuan turun dari mimbar. Saya akan menjawab pertanyaan tuan tadi di mimbar."
Kemudian, si ilmuwan turun dari mimbar sementara Abu Hanifah naik ke mimbar.
"Saudara-saudara, dari atas mimbar ini saya akan menjawab pertanyaan tadi. Boleh tuan ulangi pertanyaan tadi?"tutur Abu Hanifah setelah berada di atas mimbar masjid.
"Apakah pekerjaan Tuhan mu sekarang? "kata si ilmuwan menyebut intipati pertanyaannya.
"Pekerjaan Allah tentu sahaja ada perkejaan dari pekerjaan makhluk. Ada pekerjaan-Nya yang dapat dijelaskan, dan ada pula yang tidak dapat dijelaskan. Pekerjaan Allah sekarang adalah menurunkan orang kafir seperti tuan dari atas mimbar, kemudian menaikkan seorang Mukmin ke atasnya. Seperti itulah gambaran pekerjaan Allah setiap waktu."
Akhirnya,hadirin yang ada di dalam masjid merasa puas dengan jawapan-jawapan Abu Hanifah. Jelas,mudah,tegas,dan mudah difahami,bahkan oleh orang awam sekalipun.
Comments